GIBRAN MAU DIMAKZULKAN? INI BUKAN ASPIRASI RAKYAT, INI AMBISI ELITE TUA!
PEMAKZULAN GIBRAN: KONSTITUSI DILANGGAR, DEMOKRASI DIPERTARUHKAN!
Usul pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan TNI (FPP TNI) bukan hanya langkah yang mencengangkan, tapi juga menunjukkan gejala kemunduran berpikir dalam memahami hukum dan demokrasi. Di negeri yang menjunjung tinggi konstitusi, tindakan para purnawirawan ini—yang notabene pernah mengabdi kepada bangsa dan negara—justru menjadi ironi yang memilukan. Seharusnya, para jenderal purnawirawan itu menjadi penjaga marwah negara, bukan malah menodainya dengan upaya pemakzulan yang absurd, tidak berdasar, dan cenderung sarat muatan politik subjektif.
Mereka berdalih membawa aspirasi rakyat. Tapi rakyat yang mana? Apakah aspirasi rakyat itu dapat dibungkus dalam map biru yang dibawa ke rumah seorang mantan wakil presiden dan kemudian dianggap sebagai mandat kebangsaan? Forum yang dibentuk oleh para pensiunan militer ini berupaya menyeret institusi Dewan Perwakilan Rakyat ke dalam pusaran opini politis yang tidak proporsional, tanpa satu pun pijakan konstitusional yang kokoh. Dalam negara demokrasi, suara rakyat bukan sekadar klaim, melainkan harus diuji melalui mekanisme legal yang sah dan terbuka. Dan mekanisme itu jelas tidak dimulai dari ruang tamu Try Sutrisno.
Adalah hal yang sangat mengganggu nalar publik ketika sekelompok mantan petinggi TNI, yang semestinya menjadi tiang penopang kedewasaan berdemokrasi, justru mengambil langkah yang tidak konstitusional dengan mendesak DPR untuk memakzulkan seorang wakil presiden yang belum terbukti melakukan kesalahan apa pun. Mereka bahkan menggunakan bahasa moralistik, membungkus tuntutan itu dengan kata-kata “pemerintahan bersih, adil, dan makmur” seakan mereka adalah pemegang kunci moralitas negara, padahal tindakan mereka sendiri justru menunjukkan kegagalan dalam memahami batas antara opini pribadi dan hukum negara.
Adalah sebuah ironi besar ketika para pensiunan jenderal yang dulu bersumpah setia kepada UUD 1945, justru sekarang mengabaikan logika konstitusi. Gibran Rakabuming Raka adalah wakil panglima tertinggi TNI. Dalam tatanan hukum negara, posisi itu melekat langsung pada jabatan wakil presiden. Maka muncul satu pertanyaan besar: bagaimana logikanya para purnawirawan yang notabene pernah berada dalam garis komando TNI, kini mencoba menggulingkan wakil panglima tertinggi itu dengan alasan yang tidak masuk akal?
Jika benar FPP TNI peduli terhadap marwah konstitusi, mereka seharusnya tahu bahwa Mahkamah Konstitusi sudah membuat keputusan final dan mengikat terkait usia minimal capres-cawapres. Bahwa terdapat pelanggaran etik oleh Anwar Usman, itu bukan pelanggaran hukum, melainkan pelanggaran etik internal lembaga. Etik bukan delik. Pelanggaran etik tidak membatalkan putusan hukum. Bahkan Mahkamah Kehormatan MK pun tidak membatalkan substansi putusan tersebut. Maka, menyeret kembali isu itu sebagai dasar pemakzulan Gibran adalah tindakan berbahaya yang bisa merusak fondasi negara hukum.
Negara ini berdiri di atas sistem hukum, bukan di atas tafsir emosional sekelompok purnawirawan yang merasa kecewa terhadap arah politik saat ini. Jangan jadikan kebebasan berpendapat sebagai dalih untuk menghancurkan kewibawaan sistem presidensial yang dijaga dengan susah payah sejak reformasi. Jangan pernah lupa bahwa kedaulatan rakyat telah berbicara melalui pemilu yang sah. Gibran Rakabuming Raka menang bersama Prabowo Subianto dalam pemilihan yang diawasi KPU, Bawaslu, dan seluruh aparat negara. Jika hasilnya tidak disukai sebagian elite tua yang belum bisa move on dari masa lalu, itu bukan alasan untuk membajak konstitusi.
Forum Purnawirawan menyebut bahwa pencalonan Gibran tidak elegan. Tapi bukankah lebih tidak elegan lagi jika para mantan jenderal itu memaksakan kehendak mereka di luar jalur demokrasi? Rakyat sudah bicara di bilik suara. Kalau ada yang tidak puas, salurannya adalah Mahkamah Konstitusi, bukan meja makan Try Sutrisno. Kesan yang timbul justru bahwa para purnawirawan ini belum selesai dengan trauma masa lalu, ketika segala sesuatu bisa diputuskan oleh suara komando dan bukan oleh suara rakyat.
Apalagi, kehadiran Try Sutrisno dalam momen ini menambah kekecewaan publik. Sebagai mantan wakil presiden, ia semestinya lebih arif. Ia adalah simbol transisi demokrasi, saksi sejarah ketika Indonesia mulai berbenah pasca-Orde Baru. Tapi alih-alih memberi nasihat yang menenangkan dan menjaga stabilitas nasional, Try malah membuka pintu rumahnya untuk inisiatif yang mengarah pada pelanggaran konstitusi. Apakah Try lupa bahwa negara ini tidak lagi dipimpin oleh dewan jenderal, tetapi oleh kehendak rakyat?
Pernyataan Try Sutrisno yang berharap DPR “membuka hati” terhadap delapan poin tuntutan itu menunjukkan kemunduran dalam cara berpikir kenegaraan. DPR bukan lembaga spiritual. DPR adalah lembaga politik yang menjalankan hukum. Membuka hati dalam soal negara hanya relevan jika hati itu dipandu oleh konstitusi, bukan oleh tekanan nostalgia kekuasaan masa lalu. Seolah-olah, ketika mereka sudah tidak berada di lingkaran pengaruh, maka jalan satu-satunya adalah menggugat dari luar pagar demokrasi. Ini bukan patriotisme, ini ketidakdewasaan politik.
Apakah para purnawirawan ini tidak sadar, bahwa tindakan mereka justru berpotensi memecah belah bangsa? Di tengah harapan besar rakyat terhadap kepemimpinan baru Prabowo-Gibran, justru para mantan petinggi TNI ini memilih menjadi oposisi moral yang tidak punya kekuatan hukum. Rakyat membutuhkan kestabilan, bukan kegaduhan. Rakyat ingin membangun masa depan, bukan mendengar suara-suara masa lalu yang diputar ulang seperti rekaman kaset lama yang tak lagi relevan.
Yang lebih menyedihkan, surat itu kabarnya ditandatangani oleh ratusan purnawirawan, mulai dari jenderal bintang empat sampai kolonel. Ini bukan soal jumlah tanda tangan. Ini soal kualitas nalar. Sehebat apapun pangkat mereka dahulu, jika hari ini mereka melanggar tatanan hukum, maka tindakan mereka tetap patut dikritik keras. Bangsa ini butuh pemimpin yang menghormati hukum, bukan figur yang bermain di balik layar dengan dalih pengalaman militer.
Pemakzulan bukanlah lelucon politik. Itu adalah tindakan serius yang hanya bisa dilakukan jika ada pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau tindakan kriminal berat lainnya. Apakah Gibran melakukan itu? Tidak. Gibran tidak melakukan pengkhianatan, tidak korupsi, tidak bertindak tercela, bahkan tidak ada satu pun skandal hukum yang bisa dijadikan dasar pemakzulan. Semua tuduhan yang dilontarkan FPP TNI lebih menyerupai opini politik daripada dakwaan hukum. Maka tudingan itu, alih-alih menjadi dasar pemakzulan, justru bisa menjadi bahan gugatan balik atas penyebaran disinformasi dan pembentukan opini publik yang tidak sah.
Kita sebagai bangsa harus waspada terhadap elite-elite tua yang belum siap menerima perubahan zaman. Mereka mungkin pernah berjasa, tapi bukan berarti mereka kebal kritik. Apalagi jika sekarang mereka justru menggerogoti fondasi konstitusi dengan dalih nasionalisme. Nasionalisme bukan berarti memaksakan kehendak sendiri. Nasionalisme berarti menjaga demokrasi, melindungi hukum, dan menghormati pilihan rakyat.
Dan kita harus berkata terus terang: FPP TNI telah melampaui batas. Mereka bukan hanya mencoba memakzulkan seorang wakil presiden, mereka sedang mencoba menggoyahkan sistem presidensial itu sendiri. Jika mereka berhasil menekan DPR untuk tunduk pada map biru mereka, maka selanjutnya mereka bisa menekan lembaga-lembaga negara lainnya. Inilah yang tidak boleh terjadi. Inilah yang harus dihentikan.
Rakyat sudah memilih. Gibran telah terpilih secara sah dan konstitusional. Tugas semua anak bangsa, termasuk para purnawirawan yang dulu pernah bersumpah di bawah bendera Merah Putih, adalah menjaga stabilitas, bukan menebar destabilitas. Bukan membakar rumah demokrasi hanya karena merasa tidak lagi punya tempat di ruang tamu kekuasaan.
Jika ada kekhawatiran, sampaikan dengan cara yang santun dan taat hukum. Jika ada aspirasi, bawalah melalui jalur politik yang sah, bukan dengan tekanan moral yang menjurus pada teror publik. Negara ini bukan milik kelompok tertentu. Negara ini milik seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Maka siapa pun yang ingin menjadi penjaga bangsa, hendaknya berdiri di atas konstitusi, bukan di atas map biru yang penuh ambisi.
Sudah waktunya kita jujur pada diri sendiri. Pemakzulan Gibran bukan agenda rakyat. Itu adalah agenda segelintir elite yang belum selesai dengan romantika masa lalu. Dan kepada mereka, bangsa ini harus berkata tegas: biarkan kami melangkah ke depan. Biarkan demokrasi ini tumbuh tanpa bayang-bayang kekuasaan masa silam.
Apa Reaksi Anda?






